Pada 2001, Elis kembali disarankan menjalani terapi. Kali
ini jenis obat yang digunakan adalah interferon. Obat itu disuntikan melalui
pembuluh darah. Dalam sepekan, Elis mesti menjalani 3 kali terapi di RS Pelni.
Menurut Prof Dr dr Nurul Akbar SpPD KGEH, ahli hepatologi di Jakarta,
interferon dikenal kalangan medis berfaedah memperbaiki hati. Namun, tingkat
keberhasilan interferon hanya 10-15%,: kata Nurul. Meski di lapangan interferon
sanggup mengurangi penderitaan akibat hepatitis sebanyak 40%, tapi kemampuannya
memusnahkan virus masih kecil. Itulah yang dirasakan Elis. Setahun terapi,
lagi-lagi tak menampakan hasil. Virus hepatitis tak juga beranjak dari
tubuhnya. Bahkan efek samping dari terapi mulai tampak.Rambut saya rontok dan
tubuh lemas terus,: kata Elis. Ia pun memutuskan berhenti terapi.
Pada 2003, Elis kembali menjalani terapi. Ketika itu
pemerintah mendatangkan obat baru yang konon ampuh mengentaskan virus hepatitis
di negara asalnya. Namun, baru beberapa bulan mengkonsumsi obat, efek samping
mulai terasa. Sumsung tulang belakang saya seperti tersedot, sakit sekali.
Lidah saya tak terasa, nasfu makan hilang, tubuh saya juga lemas, katanya.
Meski harus bergelut rasa sakit, Elis bertekad meneruskan
terapi. Seraya menjalani terapi, Elis tak tinggal diam. Ia getol berburu
informasi tentang obat hepatitis di berbagai media. Begitu juga Rahmat. Ia
menyambangi pasar Glodok yang marak penjaja obat tradisional cina. Saya beli
obat cina yang berharga jutaan rupiah,kata Rahmat.
Susu kambing
Lagi-lagi jerih payahnya itu kandas. Alih-alih membawa kesembuhan,
malah ngilu di sekujur tubuh yang didapat. Suatu ketika, masih 2003, sebuah
media swasta mempublikasi acaraĆ yang mengupas faedah susu kambing bagi
kesehatan. Karena penasaran, Elis menghubungi redaksi media itu dan meminta
nomor telepon peternak yang menjual susu kambing ettawa. Ia bersama suami
kemudian mengunjungi peternak itu di Bogor. Tiba di rumah, Elis mengkonsumsi
susu kambing hingga 2 liter perhari. Ia juga tetap mengkonsumsi obat terapi.
Beberapa bulan mengkonsumsi susu kambing, alamat kesembuhan mulai terasa. Rasa
sakit dan lemas yang biasanya dirasakan selama terapi kini berangsur hilang.
Badan saya lebih bugar,: katanya. Pada 2004, sang suami mengajak Elis bertolak
ke luar negeri. Ketika tiba di tanah air , tubuh saya tetap bugar, imbuh ibu 2 anak itu. Ia akhirnya menghentika terapi dan
hanya mengkonsumsi vitamin.
Bukti kesembuhan itu juga datang ketika jabang bayi hadir di
rahim Elis. Rasa terkejut, bahagia, dan resah bercampur-aduk dalam batin Elis.
Saya terkejut. Orang yang sedang kemoterapi biasanya mustahil bisa hamil karena
efek samping terapi yang menyebabkan rahim menjadi kering,katanya. Ia juga bahagia karena telah 10 tahun tidak menimang-nimang
sang bayi.
Di balik kebahagiaannya itu, Elis juga menyimpan resah yang
mendalam. Ia khawatir virus hepatitis B juga bersarang di tubuh sang bayi.
Keresahan itu terus membayangi hari-harinya menjalani kehamilan. Selama hamil,
Elis tetap rutin mengkonsumsi susu kambing. Hari yang dinanti akhirnya tiba.
Pada November 2005, anak keduanya itu lahir. Yang paling menggembirakan, hasil
pemeriksaan darah menunjukkan, tak satu pun virus hepatitis bersarang di tubuh
anaknya. Kebahagiaan Elis pun kian membuncah ketika dokter mengatakan kondisi
hati Elis kian membaik. Hati yang tadinya mengeras akibat sirosis, perlahan di
tumbuhi sel-sel baru. Ia pun hanya disarankan memeriksakan diri 3 bulan sekali.